Kronologi Pasien dan Anaknya Meninggal di Rumah sakit di NTT karena Perdarahan
Karena tidak mengantongi surat tersebut, korban dibiarkan tanpa ada tindakan medis kurang lebih 15 menit. Korban terus mengeluarkan darah. Suami korban langsung berlari ke ruangan operasi dan melihat seorang bidan sementara menampar korban. Mungkin itu dilakukan karena dokter sudah berpesan agar korban jangan di biarkan tertidur.
KRONOLOGI KEMATIAN IBU DAN ANAK DI RSUD LARANTUKA
Tragedi Sabtu Kelabu, kematian ibu dan Anak :
Novita Diliana Uba Soge & Bayi Maria Fatimah.
Tragedi ini bermula sejak tanggal 02 Maret 2024. Korban Novita bersama suaminya Paulus Wura Lopi memeriksakan jadwal partus korban di PKM Lambunga. Dari hasil pemeriksaan USG, korban diperkirakan akan partus dalam tenggat waktu 02 Maret sampai dengan 08 Maret 2024. Setelah mendapat keterangan tersebut, Korban Novi dan suaminya kembali ke rumah mereka di Desa Muda, Kecamatan Klubagolit yang berjarak kurang lebih 2 KM.
Dalam tenggat waktu yang disampaikan pihak PKM Lambunga, korban tetap saja tidak mengalami tanda-tanda partus. Akhirnya pada tanggal 08 Maret 2024, korban dan suaminya kembali ke PKM Lambunga untuk berkonsultasi. Dokter yang bertugas di PKM Lambunga menyarankan agar korban segera dirujuk ke RSUD Dr. Hendrikus Fernandes – Larantuka. Dua hari kemudian, korban dan suaminya berangkat ke Larantuka dengan tujuan pemeriksaan lebih lanjut.
Tanggal 10 Maret 2024, korban dan suaminya melakukan pemeriksaan USG ke dokter ahli kandungan RSUD Larantuka. Dari hasil pemeriksaan, dokter menyatakan bahwa kondisi ibu dan bayi dalam keadaan normal (sehat). Dokter menyarankan untuk pulang dan jika sampai tanggal 13 Maret belum juga ada tanda-tanda melahirkan, maka korban diarahkan untuk segera kembali ke RSUD Larantuka guna mendapatkan upaya medis. Pada hari itu juga, korban dan suami kembali ke Pulau Adonara, Desa Muda, Kecamatan Klubagolit.
Menunggu sampai tanggal 13 Maret 2024, korban belum juga mengalami tanda – tanda melahirkan. Maka pada tanggal itu pula, sang suami bersama korban langsung mengurus surat rekomendasi dari desa serta surat rujukan dari PKM Lambunga ke RSUD Larantuka. Besok harinya, keduanya berangkat lagi ke Larantuka untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Tanggal 14 Maret 2024, korban bersama suami menuju RSUD Larantuka dan tiba disana sekitar pukul 11.00 Wita. Setelah melewati beberapa proses administrasi, korban diperbolehkan memasuki ruangan khusus ibu hamil yakni ruang Mawar. Korban dibaringkan di ruang tersebut tanpa ada tindakan kurang lebih 7 jam.
Lalu sekitar pukul 18.00 wita, pihak medis RSUD Larantuka baru mulai memberikan obat perangsang sebanyak empat kali. Namun sampai dengan tanggal 15 Maret 2024 pagi, belum juga ada tanda- tanda melahirkan karena menurut tenaga medis kondisi korban baru pembukaan dua. Dokter akhirnya menawarkan kepada suami korban untuk menggunakan obat perangsang jenis tetes infus. Setelah suami berembuk dengan korban perihal saran dokter, keduanya bersepakat untuk mengikuti saran dokter, karena jenis obat yang sama pernah dipakai saat korban melahirkan anak pertama. Pada saat dipasang obat tersebut, tanda-tanda melahirkan mulai nampak. Karena dari dua pembukaan, sudah naik sampai empat pembukaan.
Karena ada perubahan, maka di tanggal 16 Maret 2024, pihak medis kembali memasang obat perangsang jenis tetes infus untuk botol yang ke dua dan terjadi perubahan pesat. Dari pembukaan empat menjadi pembukan tujuh bahkan sampai pada pembukaan normal namun posisi bayi masih di perut bagian atas.
Sekitar pukul 17.30 wita, sang suami bersama korban menyampaikan ke pihak medis bahwa, kondisi korban semakin lemah dan sebaiknya dilakukan operasi CSAR saja. Permohonan korban dan suaminya ini disetujui oleh Dokter. Maka keluarlah jadwal operasi CSAR pada pkl. 20.00 wita. Korban bahkan disuruh untuk mulai berpuasa.
Setelah selesai botol kedua, pihak medis hendak memasang botol ketiga, namun hal tersebut ditolak korban bersama suami karena melihat kondisi sang korban sudah drop. Pihak medis akhirnya memutuskan untuk memasang infus biasa. Setelah dipasang infus, korban mulai merasakan sakit kepala. Suami korban kemudian memanggil pihak medis untuk melakukan tindakan medis. Pihak medis kemudian melakukan tensi darah. Hasilnya 60/100 dan detak jantung mulai tidak normal.
Pihak medis kemudian memasang oksigen dan keteter. Namun setelah pemasangan oksigen, kondisi perut korban menjadi tidak wajar. Perut bagian atas dan bagian bawah pusat terlihat kembung, sementara dibagian pusat rata seolah tidak hamil. Pihak medis kembali memasang keteter kedua sekitar pukul 18.00 wita, namun pada saat memasang keteter, korban mulai mengalami pendarahan hebat. Pada saat itu pihak medis mulai panik dan mengontak dokter specialis. Dokter menganjurkan segera melakukan vakum karena korban sudah mengalami kesulitan untuk melahirkan. Setelah dilakukan vakum korban akhirnya dapat melahirkan namun kondisi bayi sudah tidak bernyawa.
Pihak medis melanjutkan untuk mengeluarkan ari – ari bayi (plasenta) dengan cara paksa dalam keadaan korban sudah sangat drop dan tak sadarkan diri. Namun usaha untuk mengeluarkan plasenta tersebut gagal. Para medis menjelaskan kepada suami korban bahwa, ari – ari tersebut tidak bisa dikeluarkan karena perut korban sudah sangat lembek.
Jadi harus di lakukan operasi CSAR. Mendengar informasi tersebut, suami korban kemudian bertanya, apakah dengan dilakukan operasi CSAR istri saya bisa terselamatkan? Setelah berkonsultasi dengan dokter, korban diberi jaminan lisan bisa diselamatkan. Dokterpun memerintahkan untuk segera membawa korban ke ruang bedah. Sayngnya, pihak medis yang bertugas tidak menjelaskan kepada suami korban bahwa pada saat melakukan operasi harus terlebih terdahulu melengkapi administrasi berupa surat persetujuan dari keluarga. Sesampainya di ruang bedah, dokter menolak melakukan operasi karena korban belum mengantongi surat persetujuan operasi.
“saya tidak bisa lakukan operasi karena anda tidak mengantongi surat persetujuan operasi” kata suami korban menirukan kata-kata dokter. Karena tidak mengantongi surat tersebut, korban dibiarkan tanpa ada tindakan medis kurang lebih 15 menit. Korban terus mengeluarkan darah. Beberapa saat kemudian pihak medis keluar dan menyampiakan ke suami korban bahwa kondisi korban hampir tidak tertolong. Suami korban langsung berlari ke ruangan operasi dan melihat seorang bidan sementara menampar korban. Mungkin itu dilakukan karena dokter sudah berpesan agar korban jangan di biarkan tertidur. Ketika Suami korban masuk, posisi petugas medis berada di depan pintu operasi dalam keadaan panik.
Beberapa saat kemudian, dokter masuk ke ruangan dan kembali melakukan tindakan medis dengan menekan dada korban. Petugas medis yang lainnya berlarian untuk mengambil peralatan medis lainya. Beberapa saat kemudian, dokter keluar dan menyampaikan permohonan maaf kepada suami korban karena tidak bisa menyelamatkan nyawa korban. Korban meninggal dengan diagnosa gagal jatung. Selanjutnya dokter meminta kepada suami korban untuk menandatangi sebuah surat yang isinya, korban meninggal akibat gagal jantung. Suami korban menolak menandatangani surat tersebut karena menurut suami korban, istrinya meninggal karena kelalaian medis. Istrinya meninggal karena kehabisan darah. Suami korban sempat menggunakan alat tampung air seni pasien untuk menadah darah korban hingga meluap ke lantai.
Menghadapi kenyataan tersebut, suami korban sempat mengamuk sejadinya. Ia sudah tidak bisa mengontrol emosinya. Puncak emosinya saat dokter berkata bahwa untuk semua masalah hari ini akan diperbaiki untuk kedepan yang lebih baik. Dokter seolah mengakui baru saja melakukan sebuah kesalahan tindakan dan membuat istri dan anak dari Paulus Wura Lopi meninggal dunia.
Korban akhirnya dipindahkan ke ruang jenasah. Lebih buruk lagi, saat jenasah hendak dimandikan, ketersedian air di kamar jenasah juga tidak ada. Kurang lebih dua jam menunggu namun air juga tak kunjung ada, keluarga akhirnya berinisiatif menggunakan kendaraan roda dua untuk mengambil air dari rumah penduduk di sekitar rumah sakit untuk memandikan jenasah.
(Sumber : Suami Korban, Paulus Wura Lopi)