Politik Gagasan Vs Politik Transaksional Dalam Pemilu 2024

 

 


Politik Gagasan Vs Politik Transaksional

Pemilu 2024 bukan hanya sebatas pada siapa sebenarnya sosok figur yang kemudian dimunculkan untuk ikut serta dalam kontestasi nanti, karena sementara masing-masing masih melakukan proses untuk mendapatkan dukungan dari konstituen atau calon kepala daerah yang dengan cara dukungan independen.  Namun, Pemilu adalah momentum untuk mempertaruhkan ide, gagasan, pikiran serta konsep untuk membangun negeri. Ini yang semestinya menjadi harapan rakyat.

Pada dasarnya politik gagasan merupakan politik yang lebih mengutamkan wacana tentang konsep pemikran ide/gagasan serta merumuskan masa depan untuk membangun suatu tatanan nilai kehidupan masyarakat yang lebih baik dan sejahtera.

Djavadi Hanan mengatakan, politik gagasan merupakan cara berpolitik dengan mengedepankan ide-ide yang ingin diperjuangkan. Maka dalam berpolitik gagasan, tidak akan memandang perbedaan latar belakang apapun. “Sepanjang ide dan gagasan cocok. Bagus dan diterima masyarakat. Maka akan mendapatkan dukungan,”

Politik gagasan bukan hanya sekedar konsep atau apa yang dirumuskan tetapi melebihi dari itu. Artinya politik gagasan itu apabila berjalan dengan baik manakala para pemegang kekuasaan betul-betul konsisten dan menjalankan apa yang ia janjikan. Namun, Politik Gagasan sulit berkembang karena para elit politik dan masyarakat masih pragmatis dalam berpolitk.

Seperti yang dikatakan oleh Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, kendala yang menyebabkan Politik Gagasan sulit berkembang di Indonesia karena masih terkungkungnya para elit politik dan masyarakat dengan pragmatisme.

Paradigama yang ada di masyarakat sampai saat ini adalah berpolitk adalah transaksional. “Yang menjadikan sulit bergerak adalah pragmatisme. Ini bukan hanya karakter elit politik dan partai, tapi sudah menjadi karakter masyarakat,”.

Politik gagasan harus dilihat sebagai sebuah investasi jangka panjang untuk menghasilkan berbagai kebijakan yang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Akan tetapi, keberadaan politik gagasan tersebut untuk saat ini belum dapat menggeser politik transaksional. Ini yang semestinya menjadi PR (pekerjaan rumah) partai politik yang menjadi peserta pemilu.

Oleh sebab itu, untuk menuju Pemilu 2024 yang baik dan mengedepankan “akal sehat” mestilah didasarkan pada konsep dasar tentang nilai-nilai demokrasi dan mengedepankan gagasan, ide serta konsep dan tentunya ini disadari oleh semua elemen atau sistem dalam berdemokrasi.

Politik Transaksional

Istilah politik transaksional sering dikaitkan dengan adanya tukar-menukar jasa dan barang yang terjadi antara para politikus dengan konstituen yang diwakili maupun dengan partai politik. Politik transaksional sering di pratekkan oleh para politisi, tim sukses dan partai politik. Semestinya di dalam berdemokrasi pendidikan politik yang harus secara terus menerus di sosialisasikan kepada masyarakat.

Politik transaksional bisa dilakukan dengan cara tawaran jabatan, politik uang, pembagian sembako dan lain-lain. Peneliti asal Amsterdam, Ward Barenschot menyoroti maraknya politik uang pada pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia. Menurutnya fenomena itu cendrung naik tingkat ketataran yang lebih tinggi, yakni menjadi sebuah sistem yang ia sebut  sistem politik transaksional.

Hal tersebut dipaparkan Ward dalam seminar bertajuk ‘’Politik uang dalam Pemilu 2019’’ yang digelar LP3ES bekerja sama dengan Institute for Development Economics and Finence (Indef) dan lembaga penelitian asing KITLV, di ITS Tower, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (8/4/2019).

Ward Barenschot mengatakan kalau bahasa sistem politik transaksional di Indonesia di tulisnya dalam sebuah buku berjudul ‘’Democracy For Sale; Elictions, Clientelism and The State In Indonesia”.  Namun ia menjelaskan inti bahasan dari isi buku yang ditulisnya bersama peneliti asal Australia, Edward Aspanall. 

“Kami mau membahas politik di belakang layar di Indonesia. Dimensi informal. Kami mau fokus ke politik tujar kepentingan atau politik transaksional. Dalam buku ini kami sampaikan, bagaimana praktiknya di Indonesia dibandingkan dengan di India,’’ ungkapnya.

Lebih detail, Edward Aspinall menjelaskan asal muasal politik transaksional yang terjadi di Indonesia. ‘’Dalam pemilihan, biasanya memberikan dukungan lalu akan mendapatkan imbalan. Misalnya, pekerjaan, uang, proyek, kontrak kerja, hadiah dan lain-lain. Politik macam ini ada di banyak negara. Hanya saja yang berbeda , Indonesia politik fokus pada siapa calon presiden, siapa caleg, siapa calon bupati, tidak fokus pada partainya.’’

Menurutnya, justru partai yang seharusnya berperan penting dalam kesejahteraan masyarakat malah terdegradasi peranan dan fungsinya oleh kandidat-kandidat tunggal di Pemilu. Berbeda dengan yang terjadi di negara tetangga seperti India.  “Partai tak berfungsi sebagai perantara antara negara dan masyarakat biasa. Kalau di India, ada warga miskin yang sakit, atau bantuan beasiswa, maka mereka akan mendatangi kantor partai atau agen partai. Di Indonesia nyaris tidak ada. Jarang masyarakat datang ke partai minta bantuan, karena partainya sendiri sangat lemah,” urai dia.

Karena perbedaan itu, lanjut Edward, politik uang dan politik transaksional marak terjadi. Sebabnya adalah : Pertama basis massa partai politik tidak begitu kuat di grass road atau akar rumput. Kedua, para kandidiat yang diusung bukan berasal dari kader partai yang bersangkutan. Sehingga sisitem politik pragmatis, yang disebut Edward sebagai sistem politik transaksional marak terjadi.

“Fenomena tim sukses adalah fenomena unik ada di Indonesia. Kami sering bertemu dengan caleg yang ikut kompetensi di jawa. Dia bisa membentuk times dengan 3 ribu orang atau 4 ribu orang. Mereka membuat indentifikasi untuk siapa yang akan memilih, komitmen memilih mereka. Biasanya untuk mengikat itu dengan uang,” katanya.

Timses itu biasanya, jeasa Edward, memberikan kalkulasi penghitungan. Kalau memberi satu TV disuatu daerah bisa dapat 20 suara. Sedangkan kalau memberikn mesin potong rumput dapat 50 suara dan seterusnya.

Hal ini  kita dapat melihat pada setiap Pemilu, politik transaksional sering dipraktikan. Hal ini juga menurut hemat saya, sangat mengganggu sistem pemerintahan yang sudah dibangun sejak awal. Sehingga sangat berpengaruh pada kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. 

Harapnnya, politik gagasan bisa dipahami dengan baik oleh masyarakat dan menghilangkan politik transaksional. Apabila politik gagasan tidak mampu untuk diterapkan dan politik transaksional lebih diutamakan, maka hal ini yang akan menjadi penyakit dalam proses pembangun dan kesejahteraan masyarakat di negeri ini.

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel